Kemungkinan kedua: Pelaku usaha pertama tidak ikut serta dalam pelaksaaan usaha.
Bila pelaku usaha pertama sepenuhnya menyerahkan dana pemodal kepada pengusaha lain, sedangkan ia sama sekali tidak ikut serta dalam pengelolaan modal tersebut, maka pada keadaan ini terdapat dua kemungkinan lain:
1. Pengusaha pertama tetap menginginkan bagian dari hasil.
Bila kemungkinan ini yang terjadi, maka para ulama menegaskan bahwa perbuatan pengusaha pertama ini mengakibatkan akad mudharabah menjadi batal. Bila akad mudharabah dinyatakan batal, maka modal harus dikembalikan kepada pemiliknya dengan utuh (baca at-Tahdziib oleh Imam al-Baghawy, 4/392-393, al-Aziiz oleh ar-Rafi’i 6/27, Raudhah ath-Thalibin oleh Imam an-Nawawi 5/132, al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 157, Mughnil Muhtaaj oleh asy-Syarbiny 2/314, Syarikah al-Mudharabah Fil Fiqhil Islami, oleh Dr. Sa’ad bin Gharir as-Silmy 2201-203).
Imam an-Nawawi berkata, “Hukum kedua: tidak dibenarkan bagi pelaku usaha (mudharib) untuk menyalurkan modal yang ia terima kepada pihak ke tiga dengan perjanjian mudharabah. Bila ia melakukan hal itu atas seizin pemodal, sehingga ia keluar dari akad mudharabah (pertama) dan berubah status menjadi perwakilan bagi pemodal pada akad mudharabah kedua ini, maka itu dibenarkan. Akan tetapi, ia tidak dibenarkan untuk mensyaratkan untuk dirinya sedikitpun dari keuntungan yang diperoleh. Bila ia tetap mensyaratkan hal itu, maka akad mudharabah kedua bathil.” (Raudhah ath-Thalibin oleh Imam an-Nawawi 5/132, silakan baca juga at-Tahdzib oleh Imam al-Baghawi 4/392, Mughni al-Muhtaj oleh asy-Syarbini 2/314, dan Syarikah al-Mudharabah Fii al-Fiqhi al-Islami, oleh Dr. Sa’ad bin Gharir bin Mahdi as-Silmu hal. 202).
Ucapan senada juga diutarakan oleh Imam Ibnu Qudamah al-Hambali, ia berkata, “Tidak dibenarkan bagi pelaku usaha untuk menyalurkan modal (yang ia terima) kepada orang lain dalam bentuk mudharabah, demikian penegasan Imam Ahmad. … Pendapat ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, asy-Syafi’i dan aku tidak mengetahui ada ulama lain yang menyelisihinya.” (al-Mughni oleh Ibnu Qudamah al-Hambali, 7/156).
2. Pengusaha pertama diam, tidak mensyaratkan apa-apa kepada pengusaha kedua.
Bila kemungkinan ini yang terjadi, maka pengusaha pertama berubah statusnya menjadi perwakilan dari pemodal, sehingga ia tidak berhak untuk mendapatkan bagian dari hasil, karena ia tidak ikut serta pengelolaan modal. Sebagaimana ia juga tidak berhak mendapatkan upah, karena tidak kesepakatan antaranya dengan pemodal tentang hal itu (al-Mughni oleh Ibnu Qudamah al-Hambali, 7/156).
Kemungkinan ketiga: Pengusaha pertama berlepas diri dari akad mudharabah.
Bila kemungkinan ini yang terjadi, maka menurut madzhab asy-Syafi’i, perbuatan pengusaha pertama ini dibenarkan, dan ia benar-benar telah keluar dari akad mudharabah. Dengan demikian, akad mudharabah berubah menjadi antara pemodal dengan pengusaha kedua, seakan-akan pengusaha pertama tidak pernah ada (al-Aziiz oleh ar-Raafi’i 6/27, Mughnil Muhtaaj oleh asy-Syabini 2/314, dan Syarikah al-Mudharabah Fii al-Fiqhi al-Islami, oleh Dr. Sa’ad bin Gharir bin Mahdi as-Silmu, hal. 203).
Rukun Kelima: Keuntungan.
Tujuan utama diadakannya akad ini adalah keuntungan, sehingga kedua belah pihak terkait mendapatkan kemanfaatan materi. Pemodal, diuntungkan karena dananya berkembang, sebagaimana pengusaha beruntung, karena mendapatkan bagian dari hasil. Oleh karena itu, rukun ini merupakan rukun terpenting dari akad mudharabah. Berkaitan dengan rukun ini para ulama telah menyebutkan beberapa persyaratan berikut:
Kedua belah pihak terkait harus mengetahui dan telah menyepakati sejak awal akad persentase bagian masing-masing dari keuntungan. Alasan disyaratkannya hal ini, adalah karena keuntungan adalah objek utama dari akad mudharabah, sehingga bila ada salah satu pihak terkait tidak mengetauhi nisbah bagiannya, maka ini menjadi penyebab batalnya akad mudharabah (Badaa’i ash-Shanaa’i oleh al-Kasany al-Hanafy 5/118, al-Aziiz oleh ar-Rafi’i 6/16).
Pembagian hasil harus dalam bentuk nisbah, misalnya separuh, sepertiga, seperempat dan seterusnya. Dengan demikian, tidak dibenarkan untuk membagi hasil dalam bentuk uang nyata dalam jumlah tertentu.
Ibnu Munzir asy-Syafi’i berkata, “Kami dapatkan ulama telah sepakat membolehkan pelaku usaha untuk mensyaratkan atas pemodal sepertiga keuntungan, atau separuh, atau nisbah berapapun yang mereka berdua sepakati, selama bagian yang ia persyaratkan diketahui bersama dan dalam nisbah tertentu. Dan seluruh ulama yang pendapatnya sampai kepada saya juga telah menyepakati, akan batilnya akad mudharabah yang salah satu pihak terkait atau keduanya mensyaratkan agar dirinya mendapatkan bagian berupa uang dalam jumlah tertentu. Di antara ulama yang saya ingat menyatakan demikian ialah Imam Malik, al-Auzaa’i, asy-Syafi’i, Abu Tsaur, dan ahlur ra’yi (madzhab Hanafy).” (Al-Isyraaf oleh Ibnu Mundzir 2/39, baca juga al-Aziiz oleh ar-Rafi’i 6/17).
Al-Kaasani al-Hanafy berkata, “Bila keduanya mensyaratkan agar mendapatkan bagian dari keuntungan, uang dalam jumlah tertentu, misalnya seratus dirham, atau yang semisal, dan sisa keuntungan menjadi milik pihak kedua, maka persyaratan ini tidak dibenarkan, dan akad mudharabah dinyatakan batal. Karena, mudharabah adalah salah satu bentuk perserikatan dagang, yaitu perserikatan dalam hal keuntungan. Sehingga, fakta ini mengharuskan agar kedua pihak terkait benar-benar berserikat/bersekutu dalam kepemilikan terhadap keuntungan. Mungkin saja pengusaha tidak berhasil mendapatkan keuntungan kecuali sejumlah uang tersebut, dengan persyaratan itu, keuntungan menjadi milik seseorang saja, sehingga perserikatan dalam hal keuntungan tidak dapat terwujud.” (Badaa’i Ash-Shanaa’i oleh al-Kasany al-Hanafy, 5/119).
Benar-benar yang dibagi adalah keuntungan. Sebagaimana dinyatakan di atas, bahwa yang menjadi objek akad mudharabah ialah keuntungan, dengan demikian, tidak dibenarkan bagi keduanya untuk mensyaratkan agar mendapat bagian berupa nisbah dari selain keuntungan. Misalnya, mensyaratkan agar pemodal mendapatkan bagian 30 % dari total modal yang ia berikan kepada pengusaha. Perilaku pemodal ini menjadikan ia senantiasa mendapatkan bagian, walaupun pengusaha tidak berhasil mendapatkan sedikitpun keuntungan (al-Bahrur Ra’iq oleh Ibnu Nujaim 7/264, dan Syarikah al-Mudharabah Fii al-Fiqhi al-Islami, oleh Dr. Sa’ad bin Gharir bin Mahdi as-Silmu, hal. 254).
***
Penulis: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri
Artikel: www.PengusahaMuslim.com